Home » » Upaya untuk Menghasilkan Rona Akhir Tambang yang Lebih Baik

Upaya untuk Menghasilkan Rona Akhir Tambang yang Lebih Baik

Green Mining dideklarasikan di Nusa Dua, Bali, pada 9 Desember 2007 atas prakarsa Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) bersama dengan Menteri Kehutanan serta Ketua Forum Reklamasi Hutan Akibat Kegiatan Penambangan (RHAKP). Deklarasi tersebut berisi kesepakatan untuk secara bersama-sama menghijaukan kembali hutan di lokasi bekas tambang. Pada tahun 2008 sektor pertambangan memberikan kontribusi perolehan devisa sebesar 36% kepada negara. Dengan potensi tersebut, pengalokasian biaya untuk menciptakan ling- kungan bekas tambang yang lebih baik bukan merupakan masalah yang sulit. Potensi ekonomi pertambangan yang sangat besar sepadan den- gan risiko yang harus dihadapi. Operasi produksi tambang mempunyai daya ubah lingkungan yang tinggi.

Oleh karena itu, agar mendapatkan hasil yang optimal dan seimbang harus memperhitungkan risiko yang ditimbulkan. Rona akhir dari wilayah tambang harus diupayakan menjadi lebih baik dibandingkan rona awalnya.

Terkait dengan pasca tambang, telah dikeluarkan Permen ESDM Nomor 18 tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan Tambang. Semangat untuk menghasilkan lingkungan lahan bekas tambang menjadi ekosistem yang lebih baik telah didukung oleh keluarnya Permen tersebut.

Rona Awal
Rona awal suatu daerah yang mempunyai deposit bahan tambang memiliki karakteristik sesuai dengan jenis bahan galiannya. Misalnya daerah dengan batuan penyusun batugamping (limestone) menghasilkan bentuk bentang alam kars dan cenderung gersang. Demikian juga pada zona dijumpainya deposit bijih logam, membentuk rona khas yang dapat menjadi indikator penting dalam eksplorasi.

Rona awal deposit bijih emas Gunung Pani, Gorontalo. Ciri khas daerah yang mengandung bijih emas primer adalah tandus, terjal, dan mudah longsor.

Rona awal pada wilayah cebakan, bijih tembaga Grasberg tahun 1988 merupakan daerah yang berbukit dan tandus. sumber PT. FI

Keberadaan deposit bahan tambang khususnya logam primer menyajikan rona yang khas, yaitu berupa lahan tandus, terjal dan sering dijumpai longsoran tanah, serta umumnya tidak porous dan tidak lulus air sehingga kecil potensinya untuk menjadi zona resapan air. Selain itu deposit logam primer yang umumnya berada di puncak-puncak bukit tersebut merupakan “bukit racun” yang seluruh tubuhnya tersimpan logam-logam berat bersifat racun yang apabila tidak ditambang, secara alami akan terus menerus tererosi dan mencemari lingkungan sekitarnya.

Tubuh deposit bijih logam seperti bijih emas, tembaga, timbal, dan besi umumnya mengandung bahan penyusun bersifat racun yang secara alami akan terus menyebar ke lingkungan sekitarnya. Sehingga peninggian atau anomali kandungan logam berat akan dijumpai pada sekitar dijumpainya deposit bijih logam primer tersebut. Kandungan logam berat kadar tinggi dijumpai pada bijih itu sendiri, tanah lapukannya, dan menyebar pada endapan sedimen sungai yang berhulukan dari dari zona ditemukannya bijih logam.

Kandungan logam pada cebakan bijih logam primer terdiri dari beberapa unsur, yaitu unsur komoditas utama dan bahan ikutan. Cebakan bijih emas tipe epitermal kandungan logamnya dapat terdiri dari Au, Ag, As, Sb, Hg, Cu, Pb, dan Zn. Contoh deposit bijih emas epitermal mengandung arsen, merkuri dan antimoni terdapat di beberapa lokasi seperti di perbukitan Pasolo, Limpoga, dan Nona Hoa, di Kecamatan Ratatotok, Minahasa Selatan, yang aliran sungai dari perbukitan tersebut masuk ke Teluk Buyat dan Ratatotok.

Cebakan tembaga porfiri di Grasberg dan Batu Hijau mengandung sulfida Cu, dengan ikutan berupa Au, Ag, dan Fe. Deposit bijih timah mengandung mineral radioaktif sebagai bahan ikutannya. Deposit bijih logam apabila tidak dimanfaatkan atau ditambang, maka secara alami unsur-unsur logam berat bersifat racun atau radioaktif akan terus-menerus tersebar ke dalam lingkungan di sekitarnya akibat tererosi atau terbawa bersama aliran air tanah maupun air permukaan sehingga rona awal kandungan unsur logam di daerah sekitarnya terutama pada aliran sungai akan tinggi. Bijih sulfida yang tersingkap di permukaan akan teroksidasi, potensial menghasilkan air asam yang pada lingkungan tambang disebut sebagai air asam tambang. Air asam tersebut berpotensi melarutkan logam, sehingga mencemari lingkungan sekitarnya.

Deposit bijih logam dengan komponen penyusun resisten terhadap pelapukan dan erosi, membentuk morfologi tinggi dan cenderung berlereng curam. Tanah yang terbentuk umumnya sangat tipis, sehingga cenderung gersang, tidak tertutup oleh vegetasi lebat. Deposit bijih logam yang terbentuk dari hasil aktivitas hidrotermal, akan terbentuk zona alterasi, di antaranya menghasilkan zona argilik. Pada zona argilik dengan penyusun dominan lempung mudah terjadi longsoran. Pada tahap eksplorasi dilakukan, longsoran argilik yang umumnya berwarna putih sampai abu-abu cerah tersebut merupakan indikator yang baik untuk menemukan lokasi cebakan bijih.

Pertambangan dan Lingkungan 
Pertambangan umum identik dengan penggalian tanah secara besar-besaran di wilayah tambang. Kegiatan tersebut akan merubah rona awal bentang alam, hidrologi, hutan, dan biota yang ada. Kegiatan pertambangan merupakan usaha yang kompleks dan sangat rumit, sarat risiko, serta usaha jangka panjang. Selain itu, kegiatan tersebut melibatkan teknologi tinggi, padat modal, dan terikat aturan regulasi yang dikeluarkan dari beberapa sektor. Itulah sebabnya kegiatan pertambangan mempunyai daya ubah lingkungan yang besar, sehingga memerlukan perencanaan total yang matang sejak tahap awal sampai pasca tambang.

Pada saat membuka tambang, sudah harus dipahami bagaimana menutup tambang. Sejak awal sudah melakukan upaya yang sistematis untuk mengantisipasi perlindungan lingkungan dan masyarakat sekitar tambang. Tahapan kegiatan perencanaan tambang meliputi eksplorasi untuk estimasi sumberdaya dan cadangan, perencanaan batas penambangan, pentahapan tambang, penjadwalan produksi tambang, perencanaan tempat penimbunan, perhitungan kebutuhan alat dan tenaga kerja, perhitungan biaya modal dan biaya operasi, evaluasi finansial, analisis dampak lingkungan, tanggung jawab sosial perusahaan termasuk pengembangan masyarakat serta perancangan rona akhir pasca tambang.

Kegiatan pertambangan pada umumnya memiliki tahap-tahap kegiatan meliputi eksplorasi, pembangunan infrastruktur dan sumber energi serta pembangunan kamp kerja dan kawasan permukiman, penambangan dan pengolahan. Pengaruh pertambangan pada aspek lingkungan terutama berasal dari tahapan penambangan, pembuangan limbah batuan, pengolahan bijih, serta operasional pabrik pengolahan.

Upaya Penambangan
Penambangan bahan mineral dan batubara di seluruh dunia, lebih dari dua per tiganya dilakukan dengan tambang terbuka. Teknik tambang terbuka biasanya dilakukan dengan open-pit mining, strip mining, dan quarrying, tergantung pada bentuk geometris tambang dan bahan yang digali.

Tambang bawah tanah digunakan jika zona mineralisasi terletak jauh di bawah permukaan tanah sehingga jika digunakan cara tambang terbuka jumlah batuan penutup yang harus dipindahkan terlalu besar. Produktifitas tambang bawah tanah 5 sampai 50 kali lebih rendah dibanding tambang terbuka, karena ukuran alat yang digunakan lebih kecil dan akses ke dalam lubang tambang lebih terbatas.

Ekstraksi bahan mineral dengan tambang terbuka sering menyebabkan terpotongnya puncak gunung dan menimbulkan cekungan yang besar. Pada tambang bidang (strip mining) penggalian dilakukan pada suatu bidang galian yang sempit untuk mengambil mineral. Setelah mineral diambil, dibuat bidang galian baru di dekat lokasi galian yang lama. Batuan limbah yang dihasilkan digunakan untuk menutup lubang yang dihasilkan oleh galian sebelumnya. Teknik tambang seperti ini biasanya digunakan untuk menggali deposit batubara yang relatif datar, terletak di dekat permukaan tanah. Teknik penambangan quarrying untuk mengambil bahan seperti pasir, kerikil, bahan industri semen, batuan ornamen, dan batuan urugan.

Kegiatan penambangan menghasilkan limbah dalam jumlah yang sangat banyak. Total limbah yang diproduksi dapat bervariasi antara 10% sampai sekitar 99,99% dari total bahan yang ditambang. Limbah utama yang dihasilkan adalah batuan penutup dan limbah batuan. Batuan penutup dan limbah batuan adalah lapisan batuan yang tidak/miskin mengandung mineral ekonomi, yang menutupi atau berada di antara zona mineralisasi atau batuan yang mengandung mineral dengan kadar rendah sehingga tidak ekonomis untuk diolah.

Pengolahan Bijih Tambang
Pengolahan bijih akan menghasilkan limbah yang mempunyai karakteristik tergantung pada jenis bijih dan metoda pengolahannya. Penanganan dan penempatan limbah tersebut dalam rangka merehabilitasi atau reklamasi lingkungan pasca tambang dengan mempertimbangkan karakteristik kimia dan fisika limbah.

Pengolahan bijih terdiri dari proses benefication dengan cara bijih yang ditambang diproses menjadi konsentrat bijih untuk diolah lebih lanjut atau dijual langsung, diikuti dengan pengolahan metalurgi dan refining. Proses benefication umumnya terdiri dari kegiatan persiapan, penghancuran dan atau penggilingan, peningkatan konsentrasi dengan gravitasi atau pemisahan secara magnetis atau dengan menggunakan metode flotasi (pengapungan), yang diikuti dengan dewatering dan penyaringan. Hasil dari proses ini adalah konsentrat bijih dan limbah dalam bentuk tailing serta emisi debu. Tailing biasanya mengandung bahan kimia sisa proses dan logam berat. Oleh karena itu, sebelum dimasukkan ke lahan penampungan terlebih dahulu dilakukan proses detoksifikasi.

Pengolahan metalurgi bertujuan untuk mengisolasi logam dari konsentrat bijih dengan metode pirometalurgi, hidrometalurgi atau elektrometalurgi baik dilakukan sebagai proses tunggal maupun kombinasi. Proses pirometalurgi seperti pembakaran dan peleburan menyebabkan terjadinya gas buang ke atmosfir (sebagai contoh: sulfur dioksida, partikulat dan logam berat) dan slag.

Pemisahan magnetik digunakan untuk memisahkan bijih besi dari bahan yang memiliki daya magnetik lebih rendah. Sedangkan flotasi menggunakan bahan kimia untuk mengikat kelompok senyawa mineral tertentu seperti sulfida tembaga dengan gelembung udara untuk pengumpulan. Bahan kimia yang digunakan termasuk collectors, frothers, antifoams, activators, dan depressants; tergantung karakteristik bijih yang diolah. Bahan kimia ini dapat mengandung sulfur dioksida, asam sulfat, senyawa sianida, cressol, disesuaikan dengan karakteristik bijih yang diolah.

Proses pemisahan gravitasi menggunakan perbedaan berat jenis mineral untuk meningkatkan konsentrasi bijih. Ukuran partikel merupakan faktor penting dalam proses pengolahan, sehingga ukuran tetap dijaga agar seragam dengan menggunakan saringan atau hydrocyclon. Tailing padat ditimbun di kolam penampungan tailing, airnya didaur ulang untuk proses pengolahan. Flokulan kimia seperti aluminium sulfat, kapur, besi, garam kalsium, dan kanji biasanya ditambahkan untuk meningkatkan efisiensi pemadatan.

Pelindian merupakan proses untuk mengambil senyawa logam terlarut dari bijih dengan melarutkan secara selektif senyawa tersebut ke dalam suatu pelarut seperti air, asam sulfat dan asam klorida atau larutan sianida. Logam yang diinginkan kemudian diambil dari larutan tersebut dengan pengendapan secara kimiawi atau proses elektrokimia. Metode pelindian dapat berbentuk timbunan, heap atau tangki. Metode pelindian heap leaching banyak digunakan untuk pertambangan emas sedangkan pelindian dengan timbunan banyak digunakan untuk pertambangan tembaga.

Proses pengolahan batubara pada umumnya diawali oleh pemisahan limbah dan batuan secara mekanis diikuti dengan pencucian batubara untuk menghasilkan batubara berkualitas lebih tinggi. Dampak potensial akibat proses ini adalah pembuangan batuan limbah dan batubara tak terpakai, timbulnya debu dan pembuangan. Air pencuci mengandung lumpur dan batubara halus, dialirkan ke kolam pengendapan.

Reklamasi Pasca Tambang
Salah satu kegiatan akhir dari kegiatan penambangan, yaitu reklamasi. Kegiatan tersebut merupakan upaya penataan kembali daerah bekas tambang agar lebih bermanfaat dan berdayaguna. Reklamasi tidak berarti akan mengembalikan seratus persen sama dengan kondisi rona awal. Sebuah lahan atau gunung yang dikupas untuk diambil isinya hingga kedalaman ratusan meter bahkan sampai ribuan meter, walaupun sistem gali timbun (back filling) diterapkan, tetap akan meninggalkan lubang besar seperti danau. Rehabilitasi lokasi penambangan dilakukan sebagai bagian dari program pengakhiran tambang, mengacu pada penataan lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Bekas tambang emas di Minahasa Selatan sumber DJMBP.

Bekas, tambang timah di Malaysia.

Teknik rehabilitasi meliputi regarding, reconturing, dan penanaman kembali permukaan tanah yang tergradasi, penampungan dan pengelolaan racun dan air asam tambang, menggunakan penghalang fisik maupun tumbuhan untuk mencegah erosi atau terbentuknya air asam tambang. Permasalahan yang perlu dipertimbangkan dalam penetapan rencana reklamasi meliputi :
  1. Pengisian kembali bekas tambang, penebaran tanah pucuk dan penataan kembali lahan bekas tambang serta penataan lahan bagi pertambangan yang kegiatannya tidak dilakukan pengisian kembali.
  2. Stabilitas jangka panjang, penampungan tailing, kestabilan lereng dan permukaan timbunan, pengendalian erosi, dan pengelolaan air.
  3. Keamanan tambang terbuka, longsoran, pengelolaan B3, dan bahaya radiasi.
  4. Karakteristik fisik kandungan bahan nutrient dan sifat beracun tailing atau limbah batuan yang dapat berpengaruh terhadap kegiatan revegetasi.
  5. Pencegahan dan penanggulangan terjadinya air asam tambang dari bukaan tambang, pengelolaan tailing dan timbunan limbah batuan (sebagai akibat oksidasi sulfida yang terdapat dalam bijih atau limbah batuan).
  6. Penanganan potensi timbulnya gas metan dan emisinya dari tambang batubara
  7. Sulfida logam yang masih terkandung pada tailing atau waste merupakan pengotor yang potensial akan menjadi bahan toksik dan penghasil air asam tambang yang akan mencemari lingkungan, pemanfaatan sulfida logam tersebut merupakan salah satu alternatif penanganan. Demikian juga kandungan mineral ekonomi yang lain, diperlukan upaya pemanfaatan.
  8. Penanganan/penyimpanan bahan galian yang masih potensial untuk menjadi bernilai ekonomi baik dalam kondisi in-situ, berupa tailing atau waste.

Rona Akhir Pasca Tambang
Kondisi pasca tambang menghasilkan lingkungan bekas tambang yang berbeda dengan kondisi awal. Puncak bukit terdapatnya deposit bijih dapat berubah menjadi cekungan atau danau. Lereng yang semula curam dapat berubah menjadi landai. Zona terdapatnya bijih yang merupakan lahan tandus dapat direklamasi menjadi lahan dengan tutupan vegetasi lebih lebat. Demikian juga zona yang tadinya sulit untuk meresapkan air, dapat direkayasa sehingga menjadi zona dengan tingkat resapan air yang tinggi.

Deposit bijih logam mengandung mineral sulfida dan logam berat yang mempunyai sifat racun. Dengan ditambangnya bahan galian tersebut pencemaran secara alami yang diakibatkan tersebarnya logam berat dan terbentuknya air asam akan menjadi jauh lebih berkurang. Penambangan dengan mengangkat cebakan bijih logam adakalanya menyisakan sulfida atau bijih yang tidak tertambang. Untuk menghindari sisa- sisa bijih sulfida logam berat tersebut teroksidasi, dapat diupayakan agar tidak terpapar pada udara bebas, yaitu dengan menimbun atau melapisi dengan bahan penutup.

Cekungan bekas tambang (pit) dapat digunakan untuk waduk penampung air. Air yang ditampung diupayakan tidak menghasilkan air asam tambang. Waduk penyimpan air dapat digunakan untuk lahan perikanan, wisata dan sumber air bersih atau air untuk keperluan irigasi pertanian. Waduk atau danau bekas tambang dapat menjadi lingkungan ekosistem baru, yang sama sekali berbeda dengan kondisi sebelum ada tambang. Tersedianya waduk atau danau selain menyediakan sumber daya air juga meningkatan fungsi resapan air yang akan meningkatkan imbuhan pada air tanah.

Rona akhir dari wilayah bekas tambang disesuaikan dengan peruntukannya yang dapat dikembalikan ke peruntukan semula misal kawasan hutan lindung, atau menjadi kawasan budi daya. Dengan perencanaan yang disusun sejak awal penambangan maka rona akhir seperti topografi, jenis vegetasi dan tata air, dapat direkayasa menyesuaikan dengan peruntukan pasca tambang agar menghasilkan rona yang lebih baik, lebih berdaya guna, dan lebih indah dibandingkan rona awalnya.

Masyarakat sekitar tambang yang semula menggantungkan hidupnya pada kegiatan usaha pertambangan, dengan tutupnya tambang memerlukan keberlanjutan pendapatan untuk kelangsungan hidupnya. Penutupan tambang memperhitungkan hal tersebut, demikian juga peluang usaha lain yang dapat dikembangkan untuk masyarakat yang secara langsung dan tidak langsung ketika tambang beroperasi mendapatkan manfaat dari tambang. Infrastruktur pertambangan yang dibangun dapat menunjang pengembangan wilayah sekitar tambang, meskipun tambang telah ditutup. Ketika tambang ditutup diharapkan ada manfaat ditinggalkan yang bersifat berkelanjutan. Kegiatan ekonomi, industri dan sektor lain sebagai efek ganda dari adanya tambang ketika masih aktif dapat terus berlangsung dan tumbuh berkembang. Demikian juga pelaku usaha pertambangan dapat menciptakan kegiatan usaha lain untuk penciptaan lapangan kerja dengan bermodalkan hasil kegiatan tambang.

Penutup
Kegiatan usaha pertambangan sarat risiko, berdampak langsung pada lingkungan, serta mempunyai efek dalam jangka panjang. Risiko terhadap degradasi lingkungan menjadi isu yang sering mengemuka, terutama ketika kegiatan operasi produksi tambang sedang berlangsung. Bahkan kegiatan tambang seringkali dapat menimbulkan sikap pro dan kontra di masyarakat. Risiko yang besar tersebut menyebabkan beberapa Pemerintah Daerah tidak mengizinkan adanya kegiatan penambangan dalam wilayahnya.

Tambang yang identik dengan penggalian harta karun berukuran sangat besar, mempunyai risiko yang sepadan. Operasi tambang mengundang berbagai permasalahan, baik yang bersifat teknis penambangan, lingkungan maupun sosial. Untuk mendapatkan hasil optimal harus mempertimbangkan semua risiko. Kemungkinan dampak degradasi lingkungan saat operasi produksi sampai dengan pasca tambang perlu diantisipasi dengan perencanaan sejak awal. Dengan demikian hasil yang diperoleh dari operasi produksi tambang, telah memperhitungkan juga komponen biaya untuk perlindungan lingkungan.

Operasi tambang apabila ternyata dari estimasi cadangan atau keekonomian tidak memungkinkan terlaksananya good mining practice untuk menghasilkan operasi tambang yang ramah lingkungan, akan lebih baik apabila deposit bahan galian tersebut tidak ditambang. Akan tetapi apabila operasi produksi tambang bisa memberikan manfaat besar pada pembangunan dalam jangka pendek maupun jangka panjang secara berkelanjutan, memakmurkan dan mensejahterakan rakyat bahkan dapat menghasilkan rona akhir yang lebih baik dan lebih indah dibandingkan rona awalnya operasi produksi tambang merupakan keharusan


Sumber : Warta Geologi, Maret 2009

0 komentar:

Contact Form

Name

Email *

Message *

Powered by Blogger.